SEKILASINDONEWS.COM – Senja menggantung malu-malu di langit barat ketika saya memacu pelan sepeda motor Revo melewati jalan kecil yang mengarah ke bibir pantai Air Nyatoh, Jum’at (27/06/2025).
Suara gemericik angin laut menyambut lembut, bersamaan dengan aroma asin yang khas. Di kejauhan, deretan bagan rangkaian kayu dan jaring milik nelayan berdiri tegar di tengah lautan, seolah tak pernah lelah menantang gelombang.
Lanskap laut yang memikat ini membuat desa pesisir ini dikenal dengan julukan “Pantai Seribu Bagan”.
Desa Air Nyatoh, yang terletak di pesisir barat Kabupaten Bangka Barat, bukan hanya menawarkan keindahan panorama bahari, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya maritim yang telah mengakar kuat.
Mayoritas penduduknya adalah nelayan, menggantungkan hidup dari hasil laut secara turun-temurun. Setiap malam, mereka memasang lampu-lampu di atas bagan, memancing ikan kecil naik ke permukaan, lalu mengangkat jaring pada subuh hari dengan harapan membawa pulang rezeki.
Di atas sebuah perahu kayu, saya berpapasan dengan Pak Bujang, seorang nelayan sepuh yang telah melaut sejak usia remaja. Ia mengayunkan tangan ramah, lalu menunjukkan hasil tangkapan sore itu, sekeranjang ikan teri nasi segar yang masih berkilau.
“Kadang dapat teri, kadang udang. Tapi kalau cuaca bagus dan laut bersih, Alhamdulillah, bisa bawa pulang banyak,” katanya.
Ikan teri nasi memang menjadi primadona Air Nyatoh. Ukurannya mungil, namun bercita rasa gurih dan asin yang khas.
Proses pengolahannya pun sederhana namun alami dijemur di bawah sinar matahari tanpa pengawet.
Selain dikonsumsi masyarakat lokal, teri nasi kini juga mulai dilirik sebagai komoditas ekspor. Pak Bujang bahkan menyodorkan satu ekor teri yang masih dijemur di atas anyaman, menyuruh saya mencicipinya. “Coba, dek. Masih hangat,” ucapnya.
Dan benar saja, rasa asin-gurihnya seolah membawa cita rasa laut itu sendiri langsung ke lidah.
Namun, keindahan itu tidak sepenuhnya tanpa cela. Di balik potensi besar industri perikanan bagan, tersembunyi sejumlah ironi yang masih menjadi pekerjaan rumah panjang.
Ironi dari Industri Laut Dangkal
Saya berkesempatan berbincang panjang dengan Asbaru, Ketua Koperasi Produsen Persatuan Nelayan Air Nyatoh. Wajahnya hangat, matanya berbinar setiap kali berbicara soal laut, namun juga terlihat menyimpan beban dari realita yang harus ia hadapi setiap hari.
Menurutnya, ada lebih dari 500 bagan aktif di sepanjang perairan Air Nyatoh. Dalam semalam, satu bagan bisa menghasilkan belasan kilogram ikan, bahkan lebih jika cuaca bersahabat. Tapi pengelolaannya masih jauh dari kata ideal.
“Kalau dikelola dengan baik dan profesional, Air Nyatoh bisa jadi sentra perikanan Bangka Barat,” katanya yakin.
Sayangnya, potensi itu belum disertai dukungan memadai. Persoalan klasik seperti alat tangkap yang usang, biaya operasional tinggi, harga pasar yang fluktuatif, hingga keterbatasan distribusi hasil laut, masih menjadi momok.
“Teri bisa anjlok harganya kalau panen besar. Kadang kami cuma bisa jual ke tengkulak dengan harga pasrah,” ujarnya.
Yang lebih menyentuh adalah ketika kami membahas soal limbah hasil bagan. Selama ini, ikan-ikan sisa atau yang dianggap tidak layak jual hanya diolah menjadi pupuk cair. Prosesnya dengan fermentasi dalam drum besar selama 21 hari.
“Lumayan buat pupuk tanaman,” kata Asbaru.
Saya pun iseng bertanya, kenapa tidak diolah menjadi makanan ringan seperti teri krispi atau produk kekinian? Asbaru tergelak.