Desa, Pemuda, dan Koperasi: Menelusuri Jejak Gagasan H. Zuhri untuk Bangka Belitung
SEKILASINDONEWS.COM – Suasana di Gedung Sriwijaya Unit Metalurgi hari itu berbeda dari biasanya. Ruang besar yang kerap dipakai untuk rapat formal pejabat, kali ini dipenuhi tokoh pemuda, aktivis pendidikan, perwakilan desa, hingga ormas.
Mereka hadir dalam forum sosialisasi MPR RI bersama anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Bangka Belitung, H. Ustadz Zuhri M. Syazali, Rabu (3/9/2025).
Bukan sekadar sosialisasi biasa, forum ini berubah menjadi arena gagasan tentang desa, masa depan pemuda, dan arah pembangunan ekonomi berbasis koperasi.
Zuhri tampil dengan pandangan yang tidak sekadar retoris, melainkan menyentuh akar persoalan: mulai dari bocornya pupuk subsidi, koperasi yang mati suri, sekolah rakyat untuk anak miskin, hingga rumah aspirasi digital.
“Kalau kita tidak menangkap peluang program pusat, orang lain yang akan. Desa harus siap,” tegas Zuhri.
Pupuk Subsidi dan Jalan Koperasi
Isu pertama yang disentuh Zuhri adalah pupuk subsidi. Menurutnya, persoalan terbesar petani di Bangka Belitung adalah harga pupuk yang kerap melambung meski pemerintah pusat menggelontorkan triliunan rupiah subsidi tiap tahun.
Investigasi lapangan menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Amir (43), petani di Bangka Barat, mengaku membeli pupuk dua kali lipat lebih mahal dari harga subsidi.
“Katanya ada subsidi, tapi begitu sampai di kios, pupuknya kosong. Kalau pun ada, sudah dipatok harga mahal,” ungkap Amir.
Presiden Joko Widodo bahkan pernah menyinggung hal serupa pada 2024, bahwa rantai distribusi pupuk rawan dimainkan spekulan. Dari produsen, distributor, hingga kios pengecer, pupuk bisa hilang sebelum tiba di tangan petani.
Bagi Zuhri, solusi ada pada koperasi desa. Jika koperasi menjadi pintu distribusi, maka rantai panjang bisa dipangkas.
“Kalau koperasi yang pegang, pupuk tidak mungkin dimainkan. Anggota sekaligus penerima. Harga pasti terjaga, subsidi tepat sasaran, keuntungan kembali ke masyarakat,” jelasnya.
Namun sejarah koperasi di Bangka Belitung tak selalu manis. Banyak yang bubar karena salah kelola, minim pengawasan, atau sekadar formalitas syarat bantuan. Tantangan terbesar justru memastikan koperasi benar-benar hidup, bukan hanya papan nama.
Pendidikan, Sekolah Rakyat, dan Anak Desa
Persoalan berikutnya adalah pendidikan. Angka putus sekolah, terutama di jenjang SMA, masih tinggi. Banyak anak desa berhenti sekolah bukan karena biaya SPP, melainkan ongkos transportasi, jarak, dan biaya hidup.
Seorang ibu di Simpang Teritip menceritakan anaknya terpaksa berhenti sekolah karena ongkos perahu ke kota terlalu mahal. “Kalau terus dipaksa, lebih baik dia kerja bantu bapaknya di kebun sawit,” ujarnya lirih.
Untuk menjawab ini, Zuhri menawarkan konsep Sekolah Rakyat berbasis asrama, mirip pesantren namun fokus pada pendidikan umum. Semua kebutuhan anak dari keluarga miskin ditanggung negara: asrama, makan, perlengkapan, hingga kurikulum.
“Anak-anak miskin jangan sampai berhenti sekolah. Justru mereka yang harus kita bantu. Kalau tidak, kemiskinan akan diwariskan,” kata Zuhri.
Meski gagasan ini menyentuh akar masalah, tantangannya jelas: pendanaan berkelanjutan dan standar manajemen yang ketat. Tanpa itu, sekolah berasrama rawan berubah menjadi sekadar penampungan tanpa kualitas.