Karya: Marhaen Wijayanto, Kepala Sekolah SD Negeri 7 Simpang Teritip
Di masa-masa tambang timah yang lesu, bekerja serabutan memungut buah sawit yang rontok atau membrundul harus terpaksa dijalani. Daya beli orang di kampung kami yang melemah membuat para pedagang mainan di depan sekolah agak lesu.
Meski saat ini ada keramaian, tetap saja dagangan mereka hanya tak laku banyak. Tampaknya orang tua hanya memberi uang jajan sedikit untuk anak-anaknya.
Kata kakek, semua itu karena hasil tambang dan perkebunan yang kurang bergairah. Belum lagi kebijakan negara yang melakukan efisiensi.
Hal itu membuat para pegawai pemerintah harus mencari tambahan setelah pulang dari kantor. Ada yang kembali membuka bimbingan belajar atau bahkan membuka usaha jual beli. Semua karena efisiensi.
Tak jauh beda dengan orang-orang di kampung itu, kakek tertunduk lesu di bawah pohon. Ditemani angin semilir, beberapa burung terbang tinggi menembus awan-awan tipis di pinggiran Dusun Rajek .
Pucuk dedaunan sawit mengipasi rasa lelah dan risau. Udara sejuk paling tidak mengobati kecewa . Sementara berapa tetangga kami pulang setelah seharian bekerja di perusahaan sawit yang beroperasi di Desa Berang
Bagi orang kampung kami, kakek semacam manusia berharga. Karena hanya beliau orang terisisa yang mampu melakukan sunat tradisi. Beliau keturunan keempat dari buyut yang mewarisi ilmu menyunat kampung. Orang Bangka menyebut tukang sunat dengan panggilan nudin.
Kami membagi waktu dalam dua masa, yaitu ceriak nerang dan ceriak ngelem. Ceriak nerang dipercaya menjadi waktu penuh harapan, pembawa berkah, dan segala pintu rezeki akan dibuka. Orang Bangka menyebutnya juga dengan bulan terang. Kami percaya bahwa di waktu itu akan dibukakan pintu rezeki yang melimpah.
Berbeda dengan ceriak nerang, saat ceriak ngelem, masyarakat dianjurkan tidak boleh melaksanakan pernikahan, sunatan, bahkan bernyanyi saja tidak boleh, dalam artian menyanyi yang bersifat pesta dan dilakukan secara masal.
Saat ceriak nerang itulah, perayaan sedekah bukit jadi waktu yang sangat ditunggu. Tak hanya sebagai simbol dibukanya pintu rezeki dan berkah bagi orang Bangka, kami merayakannya dengan pernikahan, khataman quran, dan sunatan masal.
Orang-orang di kampung kami percaya, apapun yang dilakukan saat ceriak nerang akan membawa berkah di kemudian hari.
Tapi pada zaman modern, tidak semua masyarakat percaya dengan pembagian masa waktu secara adat. Hanya di daerah tertentu saja, pembagian waktu itu dipercaya secara penuh. Sama halnya dengan pembagian waktu, di zaman sekarang adat istiadat semakin terkikis.
Di zaman gawai dan serba internet, pisau dan sembilu dari kulit bambu sangatlah menakutkan. Apalagi tawaran sunat kekinian yang tidak sakit, membuat nudin seperti kakek sama sekali tak diminati. Terancam punahlah sunat tradisi di kampung kami.
Kata orang, sunat kampung sudah tidak cocok lagi, bahkan berbahaya bagi nyawa. Tapi kakek lain, beliau pengikat akar yang mencengkeram bumi. Kakek Nudin seperti menjunjung langit karena mengajarkan adat pada tanah yang kami pijak. Laksana akar yang mengikat bumi dan hati orang-orang kampung.
“Pohon tidak akan bisa hidup jika meninggalkan akarnya. Bangsa yang meninggalkan tradisinya akan kehilangan jatidiri. Modernisasi tanpa tradisi hanya membuat jiwa kosong. Tradisi seperti akar yang membuat kita kuat menghadapi perubahan zaman,” ujar Kakek Nudin.
Kakek sudah seperti obor saja, menerangi orang-orang yang sudah tak percaya dengan tradisi semacam sunat kampung. Beliau tersenyum kepada saya dan menuangkan secangkir kopi tokak kesayangannya. Lalu ia menyandingkan kopi itu dengan beberapa butir buah durian kala pagi yang dingin seperti sekarang ini.
Perut saya terasa sangat hangat. Lalu dengan suara lirih beliau berkata, “Barang siapa menjaga adat, dialah yang menjaga jatidiri bangsanya. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Kakek Nudin berjalan menyusuri rumah ke rumah, membujuk, dan merayu anak untuk bersedia melakukan sunat. Tak semua orang memberi harapan. Seperti ikan menyanyi tanpa nada, bertepuk pun dapat sebelah tangan. Perahu perkasa yang tak mungkin berlayar tanpa laut, keahlian dan kepercayaan tak akan tumbuh jika tidak adanya orang yang bersedia lagi.