Amang Keman dan Laut yang Bertuah
SEKILASINDONEWS.COM – Setiap fajar menyingkap cahaya di ufuk timur, seorang lelaki tua berjalan pelan menuju tepi laut. Langkahnya mantap, membawa dupa, bunga pinang, dan kendi berisi air.
Ia berhenti di antara karang dan pasir, lalu menatap ombak yang berlari ke pantai.
Dialah Amang Keman, dukun laut yang selama puluhan tahun dipercaya menjaga keseimbangan antara manusia dan laut di pesisir Tempilang, Bangka Barat.
“Laut ini ibu. Kalau kita jaga, dia kasih rezeki. Tapi kalau kita lalai, dia bisa marah,” ujarnya pelan.
Amang Keman bukan sekadar dukun laut. Ia penjaga warisan adat yang menyatukan manusia dengan alam. Bagi masyarakat Tempilang, laut bukan cuma tempat mencari ikan, tapi ruang hidup, tempat bersemayamnya roh leluhur, dan sumber kehidupan yang suci.
Dalam adat Tempilang, setiap nelayan tahu batasnya. Ada wilayah yang boleh dijamah, ada yang harus dijaga.
“Itu bukan aturan manusia, tapi aturan alam. Kalau kita serakah, laut akan murka,” kata Amang Keman.
Adat yang Menjaga Laut dan Manusia
Setiap awal musim melaut, warga Tempilang menggelar Selamat Laut, ritual adat untuk memohon keselamatan sebelum nelayan berangkat ke tengah lautan. Prosesi ini dipimpin oleh dukun laut, diiringi rebana, doa, dan sesaji hasil bumi.
Tradisi itu bukan hanya simbol spiritual, tapi juga cara masyarakat menjaga keseimbangan ekologi.
Ada satu pantangan yang tak boleh dilanggar: jangan pernah melempar ayam hidup ke laut.
“Ayam itu darahnya untuk tanah, bukan untuk laut. Kalau dilanggar, alam akan kirim isyarat,” tegasnya.
Di mata Amang Keman, adat bukan sekadar ritual, tapi bentuk doa yang hidup dalam tindakan. Pelanggaran kecil terhadap laut bisa membawa musibah, entah lewat ombak tinggi atau tanda-tanda alam yang dianggap peringatan.
Karena itu, selain memimpin doa, Amang Keman juga aktif mengajak warga muda menanam kembali bakau di tepi pantai yang mulai terkikis.
“Dulu sini banyak kepiting, udang, dan kerang. Sekarang banyak yang hilang. Kalau bakau tumbuh, laut punya penyangga,” katanya.
Menurut laporan Mongabay Indonesia (2024), ekosistem mangrove di Bangka Belitung memang berperan penting menjaga garis pantai dari abrasi dan menjadi rumah bagi ribuan biota laut.
Perang Ketupat dan Doa Laut
Setiap bulan Sya’ban, Desa Tempilang berubah menjadi lautan manusia.
Warga datang dari berbagai penjuru untuk menyaksikan Perang Ketupat, ritual adat yang sudah diwariskan ratusan tahun.
Ketupat diangkat jadi “senjata”, tapi bukan untuk menyerang, melainkan untuk menebar doa keselamatan.
“Perang ketupat bukan perkelahian, tapi salam damai,” ujar Amang Keman sambil tersenyum.
Dalam prosesi ini, ia selalu memimpin doa laut sebelum acara dimulai, meminta izin pada penjaga air dan roh leluhur agar kampung aman dari mara bahaya.

















