Temuan ini menegaskan bahwa kendali peredaran sabu dari balik jeruji masih terus berlangsung, meski pengawasan sudah berulang kali diperketat. Modusnya berkembang, pengawasannya tertinggal. Lapas yang seharusnya steril dari alat komunikasi justru kerap kecolongan. Ponsel bisa masuk, uang berpindah tangan, transaksi berjalan mulus.
Jaringan lama tetap hidup, bahkan ketika para pelakunya sudah divonis hukuman panjang. Hukuman yang semestinya menjadi akhir dari kejahatan, justru berubah menjadi jeda sebelum mereka kembali beraksi.
Masalah ini tentu tidak berhenti di balik tembok lapas. Ia mencerminkan persoalan yang jauh lebih besar: lemahnya pengawasan, belum efektifnya teknologi pengendali sinyal, dan rapuhnya integritas sebagian aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan narkoba.
Bahkan beberapa bulan lalu, sebanyak 60 narapidana asal Bangka Belitung berisiko tinggi dipindahkan ke Nusakambangan sebagai bagian dari upaya pembersihan lapas dari jaringan narkoba.
Langkah ini patut diapresiasi. Namun kenyataan bahwa peredaran sabu masih bisa dikendalikan dari balik jeruji membuktikan bahwa pemindahan semata belum menyentuh akar persoalan.
BNN juga pernah bilang, lebih dari separuh peredaran narkotika di Indonesia dikendalikan dari balik jeruji. Sebuah ironi yang menampar nalar, lembaga yang semestinya menjadi tempat pertobatan dan pembinaan, justru berubah menjadi ladang subur bisnis haram bagi narapidana untuk terus hidup dan beradaptasi.
Kini, pertanyaannya: masihkah lapas berfungsi sebagai tempat pemasyarakatan, atau justru telah menjelma menjadi “kantor cabang” jaringan narkoba nasional?
Sudah saatnya pemerintah, aparat, dan publik berhenti memandang persoalan ini sebagai kasus insidental. Ini bukan sekadar kelalaian sesaat, melainkan penyakit sistemik yang dibiarkan menahun.
Sebab ketika lembaga yang seharusnya menyembuhkan justru menjadi sarang kendali kejahatan, maka yang rusak bukan hanya tatanan hukum, tapi juga moral negara.
Dan di balik jeruji yang sunyi itu, bayang-bayang bisnis sabu tampaknya memang tak pernah benar-benar mati. (*)













