Dengan omzet yang kini hanya sekitar Rp 150.000 per hari, Om Ipong mencoba berinovasi. Selain menghadirkan menu seafood yang menjadi andalannya, ia juga menyediakan nasi goreng dan kwetiau untuk menambah variasi menu. Ia tahu, untuk bertahan, ia harus fleksibel.
Menu tambahan itu memang tidak serta-merta mendongkrak pendapatan secara signifikan, tetapi cukup untuk sekadar menjaga dapur tetap mengepul.
“Biar sedikit rame, kita juga menyediakan nasi goreng & kwetiau. Alhamdulillah bisa mendongkrak pendapatan, meski tak terlalu banyak,” katanya.
Asik bercerita, saya pun akhirnya memesan nasi goreng kampung di sana. Setelah menunggu beberapa menit nasi goreng pesanan saya pun selesai dibuat, saya pun mulai mencicipi nasi goreng kampung yang disajikan Om Ipong. Bukannya bermaksud lebay, tapi jujur saja, saya bisa merasakan sentuhan kesederhanaan dan cinta dalam setiap butir nasinya.
Rasanya menurut saya sangat luar biasa. Pedasnya yang pas, potongan udang yang gurih dan aroma khas bumbu kampung yang menggugah selera, membuat saya tak bisa menahan diri untuk memesan porsi kedua, karena rasanya begitu lezat, seperti cerminan dari ketulusan hati Om Ipong dalam memasak.
Om Ipong, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan kepada kita semua bahwa di balik setiap cobaan, selalu ada jalan untuk terus melangkah. Warungnya mungkin tidak lagi sebesar dulu, tetapi semangatnya tetap “Good Looking”.
Di tengah krisis dan badai kehidupan, ia tetap memilih untuk survive, dengan penuh kesederhanaan dan keikhlasan, berharap esok akan lebih baik.
Baginya, perjuangan ini adalah tentang bertahan dengan terhormat dan tetap terlihat “good” meski dunia di sekitarnya terasa berputar “tujuh keliling”.
Sekian tulisan dari saya. Semoga menginspirasi dan bermanfaat.