Beliau yang berusia menjelang tujuh puluh itu berjalan meninggalkan surau tempat jemaah biasa nganggung usai salat. Kakek Nudin masih terus berjuang dan bertahan dengan prinsip sunat kampung harus bertahan melawan teknologi dan dokter- dokter hebat.
“Sunat kampung bukan sekadar memotong, itu pertanda seorang anak masuk ke alam bujang. Sunat bukan hanya kegiatan fisik, tapi simbol kamu masuk ke masa remaja. Sunat adalah bagian jati diri lelaki Melayu. Seorang pejantan belum lengkap secara adat, bila belum melakukan sunat. Selain itu, sunat bukan hal memalukan, tetapi memikul budaya!”
Si anak berlari ketika mau disunat, tapi karena ditakuti pocong-pocongan oleh kakek, akhirnya ia menyerah dan balik lagi ke rumah. Segeralah si anak dirias dengan bedak dan dipakaikan peci, kain sarung, dan jas. Orang kampung menyebutnya agar mirip dengan sang pangeran.
Anak-anak itu digiring ke pemandian dan berendam di air dingin setelah subuh. Mereka berendam selama lebih dari dua jam. Fungsi rendaman air dingin mirip dengan teknik bius sunat modern. Setelah berendam selama kurang lebih dua jam, anak-anak didudukkan di atas buah kelapa yang bertunas.
Buah kelapa memiliki filosofi dapat tumbuh di manapun dan berumur panjang. Orang tua dari si anak menutup mata dari belakang, setidaknya melindungi dari rasa takut. Zaman dahulu, seorang nudin menggunakan sembilu yang tajam untuk menyunat.
Kakek Nudin memasukan rajah dan doa ke dalam air yang dipadukan dengan buah limau. Beliau mencampurnya dengan rajah berisi doa selamat. Air limau memiliki makna menyucikan. Setelahnya mereka dioles dengan ramuan kampung. Ramuan yang dipakai adalah pinang kering, ating asam, kulat kering di pohon seruk.
Selain itu, kakek juga mencampurkan sarang laba di suar pohon seruk. Proses selanjutnya disatukan digoreng tapi tidak memakai minyak sampai hangus, lalu dipipis jadi serbuk. Ramuan yang telah dipipis atau dihaluskan dibungkus memakai daun sirih lalu dioleskan agar lukanya lekas kering.
“Sunat kita ini warisan nenek moyang, janganlah kamu menolak ajaran leluhur! Sunat menandai sebuah keberanian sebagai lelaki! dan akan membentuk kedewasaan!” ujar kakek bersemangat.
“Sunat modern dokternya sembari bercerita dan mendongeng, Kek! Dia membagi hadiah, peci, dan baju pada kami. Semacam parcel berisi paket mainan dan makanan yang sangat banyak. Anak-anak suka!”
Saya anak kampung yang simpati dengan kakek. Suatu waktu saya ingin menjadi semacam sutradara dan memberi peran Kakek Nudin sebagai tokoh utama.
Ia berperang melawan modernisasi dan memperjuangkan adat. Kakeklah manusia terakhir yang mampu melakukan ritual sunat kampung.
Saya hanya bisa bercita-cita, Kakek Nudin sudah memakai pakaian superhero. Ia terbang di langit-langit kampung sembari memegang sembilu dan pisau untuk menyunat.
Jika di teve atau internet sering kulihat pahlawan pembasmi kejahatan melawan monster, maka kakek Nudin berjuang melawan modernisasi yang perlahan menghapus keberadaan sunat tradisi kampung.
Baju yang ia kenakan sudah mirip dengan superman, tetapi bedanya di dada sang kakek tertulis hurup N yang artinya Nudin. Semua karena perlawanan pada hal-hal kimia.
Kakek berjuang melawan sesuatu yang sifatnya sudah tidak natural atau alami. Ia ingin tradisi turun temurun di kampung kami tetap ada.
Saya sebagai sutradara dan produser dalam cerita itu akan menamakan Kakek Nudin menjadi Super Nudin. Dalam cerita superhero yang selalu ditakdir menang melawan musuhnya di akhir cerita. Sedikit terdesak, hampir kalah, namun tetap Super Nudinlah yang jadi pemenangnya. Karena menang, maka sunat pun alami, tidak menggunakan dokter di puskesmas atau mantri sunat. Menanglah tradisi sunat kampung.
“Lebih baik jembatan bambu daripada jembatan besi. Sering kali tradisi sederhana namun kokoh, lebih baik daripada moderisasi yang megah namun rapuh di jiwa. Meski diterpa angin baru, tetapi akar tetaplah melekat tak meninggalkan tanah yang lama.”
Memang apa yang dikatakan kakek benar. Ibarat bunga yang gugur, tetapi akar akan selalu menantikan musim semi berikutnya. Tradisi yang kuat tak akan menghilangkan jatidiri. Tradisi sebuah negara tumbuh dari kebiasaan kecil di kampung-kampung.
Gelombang boleh menghantam pantai, namun hati tak akan menggoyahkan karang. Itulah tradisi, sebuah jalan lama yang justru menuntun kita menuju jalan baru di hari esok.