Namun, publik mempertanyakan bagaimana delapan truk yang diduga membawa pasir timah ilegal bisa mencapai Pelabuhan Sadai tanpa pemeriksaan lebih awal. Jika dokumen memang lengkap sejak awal, mengapa ada penahanan? Dan lebih penting lagi, mengapa dokumen tersebut baru diperiksa dengan teliti setelah barang sempat diamankan?
Kolonel Erwin juga menegaskan bahwa pihaknya telah memberikan teguran kepada PT. Tommy Utama untuk lebih memastikan kelengkapan dokumen di masa mendatang.
“Kami memberikan peringatan kepada perusahaan pengangkut dan penyedia angkutan agar selalu melengkapi dokumen setiap kali melakukan pengiriman. Hal ini untuk mencegah kesalahpahaman atau penahanan barang yang tidak perlu,” katanya.
Namun, teguran ini dinilai terlalu lemah mengingat kasus ini melibatkan sumber daya strategis seperti timah. Apakah hanya dengan teguran, risiko pelanggaran serupa dapat dicegah? Publik menilai langkah ini tidak mencerminkan ketegasan TNI AL dalam menjaga kekayaan negara.
Keputusan pelepasan ini juga menciptakan preseden yang mengkhawatirkan. Jika dokumen yang tiba-tiba “lengkap” bisa menjadi alasan pelepasan, apakah tidak ada peluang bagi pelaku penyelundupan untuk memanfaatkan celah ini di kemudian hari? Sistem pengawasan dan penegakan hukum tampaknya perlu diperkuat untuk mencegah situasi serupa di masa depan.
Penangkapan delapan truk ini awalnya dianggap sebagai langkah serius TNI AL dalam memberantas penyelundupan, namun pelepasannya justru mengikis kepercayaan masyarakat. Publik berhak meminta penjelasan lebih transparan terkait proses ini untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang.
Sebagai garda depan penjaga kedaulatan negara, TNI AL harus memastikan bahwa tindakan mereka tidak hanya berdasarkan dokumen administratif, tetapi juga membawa pesan tegas bagi para pelaku kejahatan ekonomi. Jika tidak, kepercayaan publik akan tergerus, dan tindakan seperti ini hanya akan dianggap formalitas tanpa hasil nyata yang memberikan efek jera.