dipastikan ayat 18 dari surrah Al-Baqarah ini tepat sekali, “summum bukmum umyum fahum layarjiun”
Sebab dalam kehidupan sosial, seringkali kita merasa bahwa kita-lah yang paling layak, paling bagus, paling hebat, paling pintar, paling tokoh, paling populer, paling pantas dan ornamen-ornamen duniawi lainnya. Kita tidak menyadari bahwa orang yang layak & pantas tidak perlu pengakuan atau mengaku-akukan diri. Orang yang benar-benar bagus tidak perlu pencitraan diri. Orang yang disebut tokoh, tidak perlu berkoar-koar untuk tampil diri, sebab seorang tokoh ada dimana pun akan didatangi bukan mendatangi apalagi “melamar diri” serta menyebut diri adalah tokoh. Orang yang pintar plus cerdas, akan baca situasi dan bergerak dengan strategi, punya prestasi, punya nilai sehingga dibutuhkan dimana pun ia berada.
Seorang seniman dan budayawan yang sesungguhnya tidak butuh lagi pengakuan, tepuk tangan, panggung megah, sorotan kamera, sebab seni dan budaya adalah nilai yang sudah melekat dalam diri. Tepuk tangan, panggung megah dan sorotan kamera hanyalah debu-debu kecil yang menempel di muka sebelum terbilas oleh air.
Tapi ketika kedunguan masih melekat terlalu kokoh, akan sebaliknya. Untuk tampil harus dengan teriak agar didengar, padahal hasil yang didapatkan sebaliknya, orang tutup telinga dan lebih baik merem saja. Untuk menunjukkan prestasi tak harus menghujat sana sini, sikut kanan kiri, injak bawah sundul atas. Untuk naik tidak harus menginjak kepala kawan, kecuali mungkin lagi lomba panjat pinang 17 agustusan. Untuk dikenal tidak harus sensasi, tapi yang paling kokoh adalah prestasi dan nilai diri (intelektualitas, spiritualitas dan integritas). Minta tolong tidak harus menggongong, minta tulang tidak harus melenggang, minta diperhatikan tidak harus mengumbar apa yang telah diperbuatkan. Sebab disinilah orang menilai betapa kita mudah dijengkal oleh orang lain. “Pacak dijengkel” begitu kata orang-orang kampung. “Lom masak nasik e, kerak e lah ko makan” (nasi belum matang, keraknya sudah saya makan). Artinya kita belum ngomong, orang sudah tahu apa yang akan kita omongkan, kita belum berbuat, orang sudah tahu hasilnya bagaimana, kita belum menulis orang sudah selesai membacanya.
Teringat saya pada pesan para pendiri dan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor dan kalimat itu tertulis dalam ukuran besar didinding Pesantren: “Berjasalah tapi Jangan Minta Jasa”. Sejak awal nyantri di Jawa Timur, kami para santri ditafsiri dan dididik dengan kalimat ini, agar nanti setelah jadi alumni tidak gampang koar-koar diri, tapi tunjukin prestasi dan kebermanfaatan. Mau diakui atau tidak, bahkan mau dicaci atau dipuji, bukan urusan kita.
Namun, seriring perjalanan waktu dan perubahan kehidupan sosial yang begitu dahsyat, kita semua, masih begitu rapuh dalam menata hati, sehingga kadangkala kita merasa mutiara, padahal hanyalah serpihan debu tak berharga. Kita merasa Musa, padahal Fir’aun yang ada. Kita merasa Ibrahim, padahal Namrudz sedang merjalela. Kita merasa Muhammad, padahal sebenarnya diri adalah Abu Lahab.
Ditengah kesunyian kebun tepi sungai, sayup terdengar lirik lagu Ungu Band: “Pernahkah kau merasa……..”.
*Salam Rasa!!*
Kebun Tepi Sungai, 14/04/2024
====
AHMADI SOFYAN (Atok Kulop) disebut sebagai penjilat pejabat karena dekat dengan semua pejabat di Bangka Belitung. Tidak punya prestasi apapun. Hobi menulis gak jelas bahkan 1.000 lebih tulisan gak jelasnya dimuat dimedia cetak & online. Sudah 80-an buku & novel yang tidak laku dan tidak dikenal sudah diterbitkan. Ia banyak habiskan waktunya di Kebun Tepi Sungai. Anak kampung tanpa profesi dan embel-embel apapun dalam diri.