Bagi masyarakat Barat, tisu toilet dianggap sebagai alat yang paling praktis untuk kebutuhan toilet. Dengan tisu, mereka tidak membutuhkan air tambahan atau sistem seperti bidet dan gayung. Selain itu, tisu lebih mudah dibawa saat bepergian, menjadikannya pilihan yang fleksibel.
Namun, kebiasaan ini tidak lepas dari kritik. Banyak ahli kesehatan menilai bahwa tisu tidak seefisien air dalam membersihkan. Tisu hanya membersihkan secara permukaan dan tidak menghilangkan kotoran sepenuhnya, yang berpotensi menyebabkan iritasi kulit atau infeksi. Meski demikian, kebiasaan ini sudah tertanam dalam rutinitas masyarakat Barat dan menjadi standar yang diajarkan sejak kecil.
Faktor Infrastruktur dan Lingkungan
Salah satu alasan penting di balik kebiasaan ini adalah infrastruktur toilet di negara-negara Barat. Toilet umum di sana jarang dilengkapi dengan selang air atau sistem bidet seperti di negara-negara Asia. Selain itu, iklim yang lebih dingin membuat penggunaan air, terutama yang tidak hangat, terasa kurang nyaman.
Namun, kebiasaan ini mulai menjadi perhatian dari segi lingkungan. Produksi tisu toilet membutuhkan banyak air dan energi, serta menghasilkan limbah yang signifikan. Beberapa negara bahkan mulai mendorong penggunaan bidet modern yang dianggap lebih ramah lingkungan dan efisien dalam membersihkan.
Budaya yang Berbeda, Solusi yang Berbeda
Mengapa orang bule lebih suka cebok pakai tisu? Jawabannya terletak pada kombinasi sejarah, budaya, infrastruktur, dan preferensi praktis. Kebiasaan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa satu metode lebih baik dari yang lain, melainkan cerminan cara hidup yang berbeda. Meski demikian, dengan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan dan kebersihan, mungkin saja kebiasaan ini akan bergeser di masa depan.
Pada akhirnya, baik tisu maupun air, yang terpenting adalah menjaga kebersihan dengan cara yang paling nyaman dan sesuai dengan kondisi masing-masing. Jadi, cebok pakai tisu atau air? Itu kembali pada kebutuhan, kebiasaan, dan nilai yang dipegang setiap individu.