Di sana duduk para menteri:
Menteri Janji, sibuk berpidato di atas ponton.
Menteri Dokumen, menggulung peta reklamasi tanpa isi.
Menteri Publisitas, menyiarkan video terumbu buatan yang ditenggelamkan hanya demi tender CSR.
Namun tak ada Menteri Realisasi.
Tak ada yang benar-benar menurunkan kaki ke lumpur dan menghitung nyawa ikan yang hilang.
Reklamasi berubah menjadi ritual politik suci dalam acara, kosong dalam makna.
Itulah sebabnya Medi Hesti menegaskan, “reklamasi bukanlah proyek seremonial; ini kewajiban moral untuk mengembalikan keseimbangan laut yang telah dirusak oleh manusia sendiri.”
(Pernyataan ini merupakan parafrase dari pandangan beliau dalam konteks isu lingkungan pesisir Bangka Barat, menunggu konfirmasi kutipan langsung).
Jika laut menuntut balas, ia melakukannya dengan cara yang tak bisa kita cegah.
Pasang naik membawa abrasi, ikan menghilang dari jaring, dan gelombang menggerus pantai seperti halaman buku yang disobek satu per satu.
Reklamasi sejati harus:
Transparan dan terukur buka data RKL/RPL dan hasil pemantauan kepada publik.
Partisipatif libatkan nelayan dan akademisi dalam perencanaan serta pengawasan.
Berbasis sains gunakan indikator ekologis, bukan foto simbolik.
Diawasi secara hukum, tindak tegas ponton ilegal dan manipulasi pelaporan.
Seperti yang dicatat WALHI (2023) dalam laporan “Menolak Tambang Laut Batu Beriga”, pelibatan masyarakat pesisir secara bermakna adalah satu-satunya cara agar reklamasi menjadi adil, bukan alat pembenaran bagi kerusakan.
Laut menuntut, bukan karena ia dendam, tapi karena ia jujur.
Ia mengembalikan setiap yang kita tabur: keserakahan, kebohongan, atau ketulusan.
Ketika reklamasi hanya dijadikan janji, laut menjawab dengan kehilangan.
Namun jika kita menepatinya dengan kerja nyata, laut akan memberi kembali kehidupan.
Dan di sanalah arti sejati dari pesan Medi Hesti:
Reklamasi bukan sekadar proyek lingkungan, tapi cermin moral bangsa terhadap lautnya sendiri.