*Ketika Laut Tak Lagi Biru*
Senja perlahan menyelimuti ujung selatan Pulau Bangka, mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu.
Ombak datang bergulung, menghantam bibir pantai yang semakin hari semakin berubah.
Dulu, laut di sini begitu jernih, memantulkan cahaya matahari sore seperti cermin raksasa yang menenangkan.
Tapi kini, pantulannya buram, keruh oleh lumpur yang terangkat dari dasar lautan.
Di kejauhan, deretan ponton kayu mengapung di permukaan air, berbaris seperti bidak catur yang diam namun bekerja tanpa henti.
Tak jauh dari sana, kapal-kapal besar berwarna putih dan biru bergerak lambat namun pasti.
Mereka bukan kapal pesiar, bukan pula kapal kargo atau kapal Fery. Mesin-mesinnya menggeram, menandakan bahwa mereka sedang bekerja, bukan berlayar.
Dari tubuh kapal, pipa-pipa panjang menjulur ke bawah, menembus permukaan laut, mengaduk-aduk dasar samudera, menghisap sesuatu yang berharga dari perut bumi.
Pak Rauf berdiri di tepi pantai, matanya yang mulai rabun tetap bisa melihat jelas perubahan yang terjadi di depan matanya.
Dulu, laut adalah rumah, tempat di mana hidup dan penghidupan berjalan harmonis. Ia ingat saat perahunya bisa berlayar bebas, jaringnya bisa dilempar tanpa khawatir tersangkut sesuatu di bawah air.
Tapi kini?