Ia menghela napas panjang. Laut yang dulu memberi kini lebih banyak diambil. Nelayan yang dulu menggantungkan hidupnya pada ombak, perlahan dipaksa untuk mencari sumber penghidupan lain.
Di belakangnya, beberapa pemuda duduk di atas dermaga kayu yang mulai lapuk. Mereka memperhatikan kapal-kapal putih dan biru itu dengan sorot mata kosong.
Sebagian dari mereka telah menyerah untuk melaut, memilih bekerja di kapal-kapal itu, menjalani hari dengan seragam yang berbeda dari ayah dan kakek mereka.
“Pak, besok saya coba melaut lagi,” ujar seorang pemuda, membawa jaring yang sudah usang. “Mungkin ke arah yang lebih jauh.”
Pak Rauf tersenyum kecil, meski ada getir yang sulit disembunyikan di matanya. “Hati-hati, Nak. Laut ini tak lagi sama seperti dulu.”
Malam perlahan turun, menggantikan senja yang semakin redup. Lampu-lampu di kapal besar itu mulai menyala, berpendar seperti kota terapung di tengah laut.
Dari kejauhan, mereka tampak indah, seperti gugusan bintang yang jatuh ke permukaan air. Tapi Pak Rauf tahu, cahaya itu bukanlah harapan. Itu adalah tanda bahwa lautan semakin terkuras, sedikit demi sedikit.
Ia menatap laut yang tak lagi biru, seperti menatap masa depan yang tak lagi pasti.
Di bawah langit yang semakin gelap, angin berbisik pelan, membawa pertanyaan yang menggantung di udara. Apakah ada jalan untuk maju tanpa harus mengorbankan terlalu banyak? Apakah masih ada ruang bagi laut untuk bernapas kembali?
Entah kapan pertanyaan itu akan menemukan jawabannya. Yang pasti, laut tetap beriak, angin tetap berhembus, dan senja akan terus datang, membawa refleksi bagi mereka yang masih peduli.
Tapi satu hal yang tak bisa disangkal, lautan ini telah berubah, dan birunya perlahan menghilang.