“Warga tidak boleh hanya menjadi objek dalam keputusan tentang tanahnya sendiri,” ujarnya tegas.
Dari sisi sosial, Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog Universitas Bangka Belitung, menyebut perubahan luas Desa Pangek bukan hanya soal hilangnya lahan, tetapi juga hilangnya kepercayaan.
“Ketika batas desa diubah tanpa partisipasi warga, yang hilang bukan hanya hektare tanah, tapi juga rasa percaya,” ujarnya.
Fitri juga menyinggung soal Peraturan Bupati Bangka Barat Nomor 71 Tahun 2024 yang dianggap ditetapkan tanpa musyawarah publik yang memadai.
“Sosialisasi tanpa mendengar itu bukan dialog, itu monolog kekuasaan,” katanya disambut gumam setuju dari para peserta.
Ia pun mengusulkan pembentukan Forum Musyawarah Tapal Desa Pangek yang melibatkan tokoh adat, akademisi, dan perwakilan warga sebagai wadah bersama mencari solusi yang adil dan transparan.
“Keadilan sosial tidak bisa digambar dengan penggaris. Ia tumbuh dari pengakuan dan rasa hormat terhadap sejarah lokal,” tambahnya.
Menutup kegiatan, moderator sekaligus perwakilan GPPP, Muda Afreiyanto, menyampaikan bahwa forum ini bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah, melainkan ajakan agar pemerintah hadir dengan cara yang benar.
“Kita tidak sedang melawan pemerintah, kita hanya ingin pemerintah hadir dengan cara yang benar,” ujarnya yang langsung disambut tepuk tangan panjang dari peserta.
Diskusi publik itu ditutup dengan foto bersama dan penandatanganan komitmen moral untuk menjaga kedamaian selama proses penyelesaian tapal batas berlangsung.
Namun di balik senyum yang terekam kamera, tersimpan satu pesan mendalam dari masyarakat Pangek, bahwa batas sejati bukanlah yang tergambar di peta, melainkan yang tumbuh di hati warga yang masih percaya bahwa keadilan, meski tertunda, tak pernah benar-benar hilang arah.

















