Beberapa nelayan menyebut bahwa dalam dua tahun terakhir mereka tidak lagi melihat aktivitas bongkar muat timah dari kapal-kapal tersebut.
“Dulu masih terlihat pengangkutan BBM dan timah. Sekarang nggak ada lagi. Tapi timah tetap banyak keluar,” kata Giman, pemilik warung tempat para nelayan biasa berkumpul.
Informasi lain menyebutkan bahwa dua KIP ini tidak selalu beroperasi. Aktivitas penambangan yang dilakukan dinilai tidak sebanding dengan jumlah pasir timah yang diakui sebagai hasil produksi, yang disebut-sebut mencapai lebih dari 1.000 ton per tahun.
“Saya curiga KIP itu hanya dijadikan kamuflase untuk melegalkan timah dari kolektor. Produksinya tinggi, tapi nggak pernah kelihatan kerja,” kata seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, PT SMB diduga membeli timah dari para kolektor di wilayah IUP Pemda Bangka Selatan, lalu mengklaim hasilnya sebagai produksi KIP.
Masyarakat Tuntut Penegakan Hukum yang Adil
Warga geram karena mereka merasa hanya dijadikan korban. Mereka menilai aparat penegak hukum (APH) berlaku tidak adil.
“Kalau kami masyarakat kecil yang pakai TI, cepat dirazia, dikejar, disebut ilegal. Tapi ini yang jelas-jelas salah, dibiarkan begitu saja. Seolah-olah tutup mata,” kata warga lainnya dengan nada kesal.
Warga menuntut agar aktivitas kapal isap di laut Permis dan Rajik segera diperiksa secara menyeluruh, termasuk soal legalitas produksi, pengiriman, hingga ekspor timah.
“Jangan kampung kami dijadikan kambing hitam pengusaha. Kalau bahasa kami, ini tipu-tipu kami orang kampung,” tambah warga yang berharap dua KIP itu segera pergi dari wilayah mereka.
Sementara itu, Senja, yang disebut-sebut sebagai Komisaris PT SMB, belum memberikan tanggapan saat dihubungi media ini melalui nomor ponsel yang diduga miliknya, 0822 80xx 0xx4, pada Minggu malam (20/7/2025).
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada klarifikasi resmi dari pihak perusahaan terkait keberadaan dan aktivitas dua KIP tersebut. (tim)