Penulis: Amanda Putri Febi Lestari
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung
SEKILASINDONEWS.COM – Peradilan agama memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa keperdataan tertentu yang terkait erat dengan nilai-nilai keagamaan umat Islam, seperti perceraian, warisan, nafkah, dan harta bersama.
Dalam praktiknya, proses berperkara di pengadilan agama tak lepas dari dinamika hukum acara dan tantangan penerapannya yang kerap kali menimbulkan hambatan bagi pencari keadilan.
Persoalan seperti lamanya waktu penyelesaian perkara, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai prosedur peradilan, hingga adanya praktik yang tidak transparan menjadi sorotan.
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa penguatan transparansi dan kelancaran dalam proses berperkara di pengadilan agama merupakan kebutuhan untuk menjamin keadilan yang tidak hanya formal, tetapi juga keadilan yang benar-benar dirasakan dan mencerminkan nilai keadilan secara nyata dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sistem peradilan agama, hukum acara menjadi dasar utama dalam pelaksanaan sidang dan pemeriksaan perkara. Sejak diterapkannya sistem peradilan satu atap (one roof system), Pengadilan Agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sistem ini menjamin prinsip independensi peradilan dan kesatuan penerapan hukum acara di seluruh lingkungan peradilan, termasuk peradilan agama.
Namun dalam praktik peradilan, tidak jarang ditemukan permasalahan dalam penanganan perkara perceraian, salah satunya terkait ketidakhadiran pihak tergugat yang menyebabkan proses persidangan menjadi panjang akibat penundaan yang berulang.
Padahal, berdasarkan Pasal 125 HIR, apabila tergugat tidak hadir dalam sidang setelah dipanggil secara sah, maka pengadilan dapat menjatuhkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat. Putusan verstek ini adalah putusan yang dijatuhkan hakim ketika tergugat tidak hadir dalam sidang tanpa alasan sah, meskipun telah dipanggil secara patut.
Berdasarkan Pasal 125 HIR, perkara tetap dapat dilanjutkan dan diputus tanpa kehadiran tergugat. Tujuannya adalah untuk mencegah proses persidangan tertunda dan tetap menjamin efisiensi serta kepastian hukum.
Selain itu, Pasal 130 HIR mewajibkan hakim untuk mengupayakan mediasi di awal persidangan, namun jika salah satu pihak tidak hadir, mediasi tersebut menjadi tidak efektif dan seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menunda sidang secara berkepanjangan.