Scroll untuk baca artikel
Pasang Iklan
WhatsApp Image 2025-02-08 at 13.44.05
WhatsApp Image 2025-02-05 at 15.10.39
IMG-20250228-WA0004
IMG-20250311-WA0000
previous arrow
next arrow
Opini

Pentingnya Transparansi dan Efektivitas Proses Perkara di Pengadilan Agama untuk Keadilan Substantif

×

Pentingnya Transparansi dan Efektivitas Proses Perkara di Pengadilan Agama untuk Keadilan Substantif

Sebarkan artikel ini
Pentingnya Transparansi dan Efektivitas Proses Perkara di Pengadilan Agama untuk Keadilan Substantif
Amanda Putri Febi Lestari. (Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung).

Oleh karena itu, penting bagi hakim untuk mempertimbangkan efisiensi dan keadilan substantif dalam mengambil keputusan, agar proses berperkara tidak berlarut-larut dan tetap menjamin hak para pihak.

Meskipun belum terdapat data statistik yang secara jelas mengukur tingkat ketertutupan informasi di lingkungan peradilan agama, namun tantangan transparansi tetap menjadi isu penting dalam upaya mewujudkan pelayanan peradilan yang adil dan akuntabel.

Prinsip keterbukaan informasi telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan setiap badan publik, termasuk lembaga peradilan, untuk menyediakan informasi secara terbuka dan proaktif.Selain itu, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa

“Peradilan dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan”, yang tidak dapat terwujud tanpa keterbukaan informasi yang memadai. Guna mendukung pelaksanaan prinsip tersebut, Mahkamah Agung melalui SK KMA No. 1-144/KMA/SK/I/2011 juga telah menetapkan pedoman pelayanan informasi di pengadilan.

Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan, terutama di lingkungan peradilan agama di daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah laporan dari pengamat hukum dan penelitian, termasuk dalam jurnal “Aktivitas Humas Pengadilan Agama Pekanbaru dalam Meningkatkan Pelayanan Informasi Publik” yang menyebutkan bahwa keterbatasan sumber daya dan rendahnya optimalisasi media digital menjadi hambatan utama. Dengan demikian, peningkatan transparansi informasi publik di lingkungan peradilan agama merupakan kebutuhan mendesak untuk memastikan terpenuhinya prinsip fair trial serta tercapainya keadilan substantif yang berorientasi pada kepentingan para pencari keadilan.

Dari sisi efektivitas, keterlambatan jadwal sidang atau ketidaktepatan waktu dalam proses pemanggilan sering menjadi kendala nyata dalam peradilan agama. Meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2014 telah menetapkan bahwa penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama seharusnya dilakukan paling lambat dalam waktu lima bulan, kenyataannya masih banyak perkara yang tidak diselesaikan sesuai dengan ketentuan tersebut. Misalnya, di Pengadilan Agama Bekasi, terdapat kasus gugatan waris di mana pihak penggugat harus menunggu hampir satu tahun untuk memperoleh putusan.

Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan tidak hanya berhenti pada aspek efektivitas waktu, tetapi juga menyentuh dimensi transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) dan Litbang Kompas pada tahun 2022 terhadap 1.200 responden di Indonesia, ditemukan bahwa satu dari empat responden mengetahui atau bahkan menjadi korban praktik korupsi di lingkungan pengadilan. Praktik gratifikasi dalam bentuk permintaan uang, hadiah, hingga pemberian diskon menjadi fenomena yang merusak integritas peradilan. Situasi ini menunjukkan bahwa proses peradilan yang tidak transparan dapat merusak legitimasi pengadilan di mata masyarakat dan mengancam keberlangsungan prinsip keadilan substantif yang sejatinya menjadi tujuan utama dari sistem peradilan itu sendiri.

Sebagai bagian dari sistem hukum nasional, Pengadilan Agama wajib menjunjung tinggi asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk mencapai hal tersebut, reformasi peradilan agama perlu diarahkan pada penguatan manajemen perkara, digitalisasi layanan, dan peningkatan kompetensi hakim. Implementasi sistem e-Court yang diterapkan di lebih dari 800 pengadilan, termasuk lingkungan peradilan agama, terbukti mampu memangkas waktu penyelesaian perkara hingga 30% dan meningkatkan transparansi proses persidangan. Upaya ini juga didukung oleh program Bimbingan Teknis rutin yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Badilag, yang secara nyata meningkatkan kemampuan hakim dalam menangani perkara yang kompleks, termasuk perkara ekonomi syariah.

Dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi dan terlaksananya persidangan yang transparan dan akuntabel, masyarakat diharapkan tidak lagi memandang pengadilan hanya sebagai tempat formal untuk menyelesaikan sengketa, melainkan sebagai lembaga yang benar-benar melindungi dan mewujudkan keadilan yang sejati. Oleh karena itu, perbaikan terus-menerus terhadap proses dan aturan sidang di pengadilan agama harus menjadi prioritas utama, agar kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan semakin kuat dan pengadilan benar-benar menjadi garda terdepan dalam menjamin hak-hak keperdataan umat Islam dan mewujudkan keadilan substantif yang berintegritas.

Akses Terus Biar Update