Propaganda Sang Perwira
Di Kabupaten X, kota kecil yang tampak damai di permukaan, seorang perwira muda bernama Letnan Heri mengukir namanya dengan cara yang berbeda.
Ia bukan sekadar tentara biasa, ia adalah ahli strategi, manipulator ulung, dan arsitek propaganda yang memahami bahwa perang sejati bukan hanya di medan tempur, tetapi juga di benak manusia.
Heri dikenal sebagai sosok yang santun, rendah hati, dan mudah bergaul. Ia bisa berbincang dengan petani di sawah, tertawa bersama pedagang di pasar, dan duduk berdiskusi serius dengan pejabat tinggi.
Karismanya begitu kuat, membuat orang-orang percaya padanya tanpa ragu. Namun, mereka tidak pernah tahu bahwa di balik senyum lembutnya, tersimpan ambisi besar yang membara.
Heri tidak ingin sekadar menjadi seorang perwira biasa. Ia ingin menguasai segalanya, mulai dari darat, udara, hingga air.
Tapi ia paham, kekuasaan tidak didapat dengan senjata saja. Kekuasaan sejati adalah ketika seseorang bisa mengendalikan pikiran dan hati orang-orang di sekitarnya. Maka, ia memulai permainannya.
Memulai Permainan
Heri tahu bahwa propaganda yang baik bukanlah tentang memerintah, tetapi tentang membuat orang percaya bahwa mereka mengambil keputusan sendiri. Maka, ia tidak terburu-buru. Ia menyusun strategi dengan cermat, menanam benih propaganda secara perlahan namun pasti.
Di antara sesama perwira, ia selalu memberi nasihat yang tampak masuk akal.
“Kita harus menjaga kota ini dari ancaman luar,” katanya dalam rapat internal militer. “Jika kita tidak waspada, kita bisa dikuasai pihak lain.” ucap Heri sembari meyakini para perwira lainnya.
Kata-katanya menggugah kecemasan. Ia menciptakan musuh yang tidak ada, membuat orang-orang di sekitarnya mulai berpikir bahwa ancaman itu benar adanya.
Lalu, ia menyusup ke dalam pemikiran masyarakat.
Di hadapan pedagang, ia berkata,
“Perekonomian kita harus lebih kuat. Kita tak bisa terus-menerus bergantung pada pihak luar.” ucapnya.
Di depan pemuda-pemudi kota, ia berbicara tentang kejayaan masa lalu dan bagaimana mereka bisa menjadi generasi yang mengembalikan kebanggaan itu.
Di dalam forum pejabat pemerintah, ia berkata,
“Stabilitas adalah segalanya. Kita butuh pemimpin yang benar-benar memahami kebutuhan masyarakat.” katanya.
Sedikit demi sedikit, kata-katanya mulai menjadi keyakinan kolektif. Orang-orang tidak menyadari bahwa pikiran mereka sudah dikendalikan oleh Heri.
Dan ketika saatnya tiba, tak ada seorang pun yang menyadari bahwa mereka telah menjadi bidak dalam permainan seorang perwira muda yang ambisius.
Mengendalikan Informasi
Heri memahami satu prinsip utama dalam propaganda:
“Siapa yang menguasai informasi, dia yang mengendalikan kenyataan.” ucap Heri dalam benaknya.
Maka, ia mulai membangun jaringan informan. Ia menempatkan orang-orangnya di berbagai posisi strategis, di kantor pemerintahan, pasar, sekolah, bahkan di kedai kopi tempat warga biasa berbincang.
Setiap isu yang beredar di kota kecil itu, Heri sudah mengetahuinya sebelum menjadi berita besar. Ia memutarbalikkan fakta sesuai kepentingannya.
Jika ada kebijakan pemerintah yang buruk, ia memastikan bahwa masyarakat menyalahkan pihak lain. Jika ada kritik terhadap militer, ia menggiring opini bahwa tanpa dirinya, kota ini akan semakin kacau.
Namun, senjata paling berbahaya Heri adalah media.
Ia menguasai surat kabar lokal, radio, hingga media sosial. Ia memiliki tim khusus yang bertugas membuat narasi yang membentuk citranya sebagai sosok penyelamat dan pemimpin yang tak tergantikan.