SEKILASINDONEWS.COM – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar di Indonesia kini dihadapkan pada konflik internal yang mengarah pada dualisme kepemimpinan.
Persoalan ini bukan hanya merusak kredibilitas organisasi, tetapi juga menghambat berbagai agenda penting dan menimbulkan kegaduhan di kalangan insan pers.
PWI seharusnya menjadi pilar profesionalisme, integritas, dan solidaritas bagi wartawan di Indonesia. Namun, perpecahan yang terjadi justru memperlihatkan ketidaksepakatan dan egoisme kepentingan, yang pada akhirnya merugikan seluruh ekosistem pers di tanah air.
Akar Masalah dan Dualisme Kepemimpinan
Konflik ini bermula dari pemecatan Hendry Ch Bangun dari kepengurusan PWI Pusat Jakarta, yang kemudian memunculkan dua kubu yang saling mengklaim legitimasi kepemimpinan.
Zulmansyah Sekedang, yang terpilih melalui Kongres Luar Biasa (KLB) pada 18 Agustus 2024, menegaskan bahwa kepemimpinannya sah sesuai dengan Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI. Di sisi lain, Hendry Ch Bangun juga mengklaim kepemimpinan berdasarkan Akta Hukum (AHU) dari Kementerian Hukum dan HAM.
Ketegangan ini semakin memburuk dengan ketidakmampuan kedua kubu untuk mencapai kesepakatan. Bahkan, dampaknya mulai meluas hingga ke Dewan Pers, yang terpaksa menunda pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) serta melarang penggunaan gedungnya akibat polemik ini.
Dampak Negatif Dualisme
Perpecahan dalam tubuh PWI membawa berbagai dampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh internal organisasi, tetapi juga oleh dunia jurnalistik secara keseluruhan. Beberapa dampak yang muncul di antaranya:
1. Menurunnya Kredibilitas PWI