Sepenggal Kisah di Ujung Selatan
Menjelang senja di ujung selatan Pulau Bangka, suasana sore itu begitu tenang. Langit mulai berwarna jingga, burung-burung pulang ke sarang, sementara angin laut berhembus pelan membawa aroma asin khas pesisir.
Di sebuah warung kelontong sederhana yang berdiri di tepi jalan, tampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lebih tahunan duduk santai dengan secangkir kopi hitam di hadapannya.
Ia berbincang dengan beberapa orang di sekitarnya, sesekali tersenyum, sesekali tertawa kecil. Namun di balik kelakar dan obrolan ringan itu, raut wajahnya menampakkan kegelisahan.
Matanya sayu, kerut di dahinya seakan menyimpan beban berat yang tak mudah diceritakan. Lelaki itu tampak berusaha menutupi kesedihannya dengan candaan, seolah-olah tawa bisa menjadi tirai bagi luka batin yang dipikulnya.
Sambil menyesap kopi, terdengar ia berucap lirih, namun diselingi senyum getir.
“Jaman kini ekonomi sedang sulit, mencari pekerjaan sulit, bahkan ingin usaha juga sulit dan terkendala modal (uang). Jadi dak usah nek usaha halal, nek usaha haram pun sulit men dakde duit (modal),” ucapnya, disambut tawa kecil dari beberapa kawan duduknya.