Ia kemudian terdiam sejenak, menatap jauh ke arah jalanan yang sedang ramai dilalui. Dengan nada lebih serius, ia kembali bersuara.
“Men dak beduet, kite sebagai laki-laki pun dk siape la menghargai. Dak usah manusia, langau antu pun jijik ngedeketin kite. Bahkan kite selalu salah di mate seseorang, meskipun sebelumnya k la pernah berjuang dan pernah berusaha. Namun hal itu akan musnah, karena yang dihargai itu bukan usaha, tapi seberape ade duet k,” katanya sambil menghela napas panjang.
Demikianlah sepenggal kisah yang tersaji menjelang senja di ujung selatan. Kisah seorang lelaki sederhana yang melalui kata-katanya, menyuarakan realitas pahit yang sering dialami banyak orang.
Realitas bahwa keberhargaan seseorang kerap kali diukur dari seberapa banyak uang yang dimilikinya, bukan dari keringat, perjuangan, atau usaha keras yang pernah ia lakukan.
Ucapan itu mengandung pesan getir tentang kehidupan: bahwa ketika kantong kosong, harga diri pun seakan ikut merosot di mata orang lain. Betapapun besar kerja keras yang telah dilakukan, betapapun berat perjuangan yang pernah dijalani, semua itu seakan sirna begitu saja saat seseorang tidak memiliki uang.
Kisah ini juga menjadi potret sosial bagaimana tekanan ekonomi dapat memengaruhi cara pandang orang-orang di sekitar kita, bahkan orang terdekat kita sekalipun, dalam memberi penghargaan.
Laki-laki yang semestinya dihormati karena ketekunan dan kegigihannya, justru sering dipandang sebelah mata ketika tak berpunya.
Pada akhirnya, percakapan di warung sederhana itu bukan sekadar keluhan seorang lelaki, melainkan potret kecil dari kenyataan besar yang dihadapi banyak orang. Hidup memang sering kali kejam: tawa bisa menutupi luka, dan perjuangan bisa tak dihargai. (*)