Kerusakan ini bersifat jangka panjang dan sulit untuk diperbaiki, terutama karena reklamasi dan rehabilitasi lingkungan jarang dilakukan oleh para pelaku tambang ilegal.
Etika Lingkungan dan Pelanggaran Hak Generasi Mendatang
Dari perspektif etika lingkungan, aktivitas penambangan yang melanggar hukum adalah suatu tindakan yang merugikan hak-hak generasi yang akan datang.
Penggunaan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan menunjukkan adanya ketidakadilan antar generasi.
Generasi saat ini mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, sementara generasi mendatang harus menghadapi konsekuensi ekologis yang rumit dan mahal untuk diperbaiki.
Sering kali, masyarakat yang terdampak tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menjadi pihak yang dirugikan akibat kebijakan yang tidak terbuka dan tidak inklusif, sementara keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir individu yang memiliki akses terhadap modal dan sumber daya.
Ketidakadilan ini memperkuat pandangan bahwa penambangan ilegal bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga terkait dengan etika dan hak asasi manusia.
Masalah Pengelolaan: Antara Pembiaran dan Korupsi
Kegagalan untuk menangani penambangan ilegal berkaitan dengan lemahnya sistem pengelolaan dalam sektor pertambangan. Setelah adanya perubahan pada Undang-Undang Mineral dan Batubara, wewenang perizinan berpindah ke pemerintah pusat, tetapi kemampuan dalam pengawasan tidak meningkat secara signifikan.
Pemerintah daerah kehilangan fungsinya yang strategis, sedangkan pemerintah pusat kewalahan dalam mengawasi ribuan lokasi tambang di seluruh tanah air.
Etika Publik dan Tanggung Jawab Negara
Dalam konteks ini, negara memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi lingkungan demi generasi mendatang. Dalam etika publik, prinsip non-maleficence (tidak menyakiti) seharusnya menjadi dasar untuk setiap kebijakan pembangunan.
Namun, kenyataannya adalah izin penambangan sering kali dikeluarkan tanpa adanya konsultasi yang memadai dengan masyarakat yang terpengaruh. Ini bukan hanya merupakan kesalahan administratif, tetapi juga merupakan pengabaian terhadap prinsip persetujuan yang diinformasikan yang seharusnya menjadi landasan etika politik.
Ketika pemerintah lebih mendengarkan kepentingan perusahaan daripada suara komunitas lokal, akan terjadi ketidakadilan moral dalam pengambilan keputusan.
Pembangunan yang etis bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang siapa yang mendapatkan manfaat dan siapa yang menjadi korban.
Dari sudut pandang etika publik, negara memiliki kewajiban moral untuk melindungi lingkungan demi generasi yang akan datang. Prinsip non-maleficence (tidak merugikan) seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan pembangunan.
Namun, praktik penambangan ilegal menunjukkan pengabaian terhadap prinsip itu. Ketika suara masyarakat lokal yang terdampak tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dan ketika eksploitasi sumber daya lebih menguntungkan segelintir pihak, maka ketidakadilan moral dalam pengambilan keputusan pun terjadi.
Aktivitas tambang ilegal bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengabaian terhadap prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan. Oleh karena itu, kasus Belo Laut harus menjadi awal bagi restrukturisasi kebijakan pertambangan di Indonesia.
Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil perlu merumuskan kesepakatan baru bahwa eksploitasi sumber daya alam harus mengikuti prinsip keberlanjutan, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Tanpa langkah tersebut, sektor pertambangan akan meninggalkan warisan kerusakan ekologis dan konflik sosial bagi generasi mendatang. (**)