Foxconn: Pada 2016, Foxconn menggantikan sekitar 60% tenaga kerja di pabriknya dengan robot. Produktivitas meningkat, namun langkah ini menimbulkan kritik karena memarginalkan buruh berupah rendah (BBC, 2016).
Jepang: Menghadapi krisis demografis, Jepang mengadopsi robot di restoran dan layanan lansia. Henn-na Hotel, misalnya, dioperasikan hampir seluruhnya oleh robot. Solusi ini efektif, tetapi menimbulkan pertanyaan soal hilangnya sentuhan manusia (The Guardian, 2020).
Solusi tidak terletak pada kompetisi antara manusia dan mesin, melainkan kolaborasi. MIT Human-Centered Robotics Group (2021) menyarankan robot digunakan untuk tugas-tugas berisiko atau monoton, sementara manusia fokus pada pekerjaan berbasis empati dan pengambilan keputusan. Di sektor medis, misalnya, sistem robotik da Vinci membantu prosedur bedah kompleks, tetapi kendali tetap di tangan dokter.
Selain itu, investasi dalam pendidikan dan reskilling menjadi keharusan. Sistem pelatihan vokasi ganda di Jerman, yang menggabungkan teori dengan magang industri, bisa menjadi model dalam menyiapkan tenaga kerja menghadapi era otomasi.
Penutup
Tantangan ini menuntut kebijakan responsif dari pemerintah, tanggung jawab sosial dari korporasi, dan kesiapan individu untuk beradaptasi. Bila dikelola dengan baik, transformasi teknologi dapat menjadi peluang emas. Namun jika diabaikan, kesenjangan sosial dan pengucilan ekonomi akan makin dalam.
Seperti dikatakan ekonom Daron Acemoglu, “Teknologi seharusnya memperluas kapasitas manusia, bukan menggantikannya.” Dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup etika, pendidikan, dan regulasi, kita dapat membentuk masa depan kerja yang lebih manusiawi.