“APH kita sudah lengkap semua. Waspada terus. Yang bagian hutan, pantau hutannya… jangan hanya duduk di kantor,” sindirnya.
Kritik dari Wakil Bupati ini seolah menampar keras sistem pengawasan yang selama ini terkesan longgar.
Padahal, kawasan tersebut berstatus hutan lindung, yang secara hukum tidak boleh disentuh untuk aktivitas pertambangan, apalagi ilegal.
Yang mengejutkan, hingga berita ini ditulis, belum ada satu pun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka, tidak ada alat berat yang disegel, dan garis polisi pun belum terlihat di lokasi.
Kondisi ini memicu banyak pertanyaan. Apakah negara benar-benar hadir untuk menjaga ruang hidup rakyatnya? Atau justru ikut diam dalam lingkaran pembiaran?
Perusakan lingkungan di lokasi strategis seperti ini, yang seharusnya menjadi simbol ketegasan negara, kini menjadi bukti lemahnya penegakan hukum.
Ketika tambang ilegal bisa beroperasi hanya beberapa meter dari gedung pemerintahan, maka ini bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan soal wibawa negara.
Wabup Yus Derahman sudah menegaskan komitmennya. Tapi, seperti yang ia katakan, satu suara saja tak cukup. Perlu dukungan dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum dan instansi terkait, agar perusakan seperti ini tak kembali terulang.
Kini publik menanti: apakah langkah tegas benar-benar akan diambil? Ataukah ekskavator akan terus melukai bumi, diiringi diamnya negara? (belva)