SEKILASINDONEWS– Petang merembang melalui kawasan Koba, Bangka Tengah. Gerimis turun. Jelang Magrib. Terang seakan raib. Rehat ke sebuah kedai kopi, tampak deretan Kelapa Muda, mengundang selera. Di meja, Otak-Otak berkemasan daun pisang bakar berjepitan lidi atas bawah. Tak biasanya keduanya tak menghentikan langkah. Saya lurus menuju tepian pantai.
Tampak pohon keras, lumayan besar. Ada pinus juga di tepian. Ada pohon berakar hitam berserabutan, pokok tua. Entah mengapa sekelebat ingatan saya terlintas kepada sosok Doni Monardo, masih dirawat di ICU sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat, sudah berbulan. Perahu nelayan di kejauahan berayunan.
“Pembibitan pohon tanaman keras seperti Trambesi terus saya lakukan.”
“Malu dengan Singapura kini Trambesinya tinggi-tinggi.”
“Di Makasar, di Padang, dan banyak tempat Trambesi kami tanam kini sudah mulai tinggi.”
Saya mengingatkan soal Djamaloedin Adinegoro bukunya Melawat ke Barat, 1926, ia deskripsikan perjalanannya dari teluk Bayur merapat di Bandar Tumasik, kini Singapura. Era itu Tumasik berdebu, gersang, tepian laut banyak perahu jukung, warga tidur di perahu, kotoran menghampar berenang-renang.
Sebaliknya, ketika Adinegoro, Bapak Pers itu, merapat di Belawan, udara sejuk di kota Medan kala itu, pohon Trambesi dan Meranti besar, tinggi.
“Kini semua terbalik-balik.”
Begitu kalimat mantan Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) ini. Di saat Covid 19 puncaknya ia saban hari menghiasi media. Adalah Egy Masadiah, sahabat dekatnya menjadi staf ahli. Karena acap menulis deskriptif naratif, Egy menyampaikan ke mantan Pangdam lll Siliwangi ini satu momen mengajak saya ikut perjalanan keliling.
Maka Medio Maret 2021, saya ikut dalam perjalanan dinas BNPB, Bang Doni, ke Palangkaraya, ke Pangkalpinang, ke Lampung. Dalam lawatan bermalam, menginap.
Bangka sudah sudah menjadi kampung saya.
Melenturkan keletihan di Pangkalpinang kami memancing ke laut, bersama Gubernur Erzadi kala itu, turut serta Kapolda, Anang Hidayat.
Lumayan lama kami memancing. Rekor kala itu kebetulan saya mendapat ikan terbesar dari terpqncing, nomor dua Kapolda, dan Sosok bertutur cool ini tak dapat ikan sama sekali. Saya sempat mengabadikan fotonya terdiam tak dapat-dapat ikan.
Kemarin itu Magrib usai. Saya masuk mobil di gerimis padat. Baru dua menit berjalan, saya buka gadget. Membaca Doni Monardo. Kipas penyapu kaca di depan mobil bergerak cepat memacu jantung ikutan berdetak cepat-cepat.
Air mata saya jatuh.
Saya menangis sesegukan, tanpa malu, kepada tiga rekan lain semobil.
Saya hubungi, siapa lagi kalau bukan belahan jiwa, Sandra IP, sejadinya saya menangis, “Bang Doni telah tiada.”
Ketika saya menuliskan ini, air mata ini jatuh lagi.