“Dalam pertimbangan pemberian dispensasi, aspek-aspek seperti kesehatan, psikologi, moral, agama, adat, budaya, serta dampak sosial bagi anak akan dipikirkan dengan serius. Langkah ini diambil untuk melindungi masa depan anak dari risiko pernikahan dini,” jelasnya.
Untuk menghindari hal itu, lanjut Jamaludin, Kemenag Basel, melalui para penyuluh agama dan penghulu, secara aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya pernikahan dini. Sosialisasi ini mencakup dampak negatif pernikahan anak, mulai dari risiko kesehatan hingga risiko sosial seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Jamaludin juga menyoroti dampak kesehatan dan psikologis yang dihadapi anak yang menikah di bawah umur, seperti stunting, serta risiko perceraian yang tinggi pada pernikahan dini. Ia meminta masyarakat lebih peduli terhadap masa depan anak-anak mereka.
Lebih lanjut, Jamaludin menekankan pentingnya peran orang tua dalam mencegah pernikahan dini yang kerap kali dipicu oleh dorongan dari keluarga sendiri. Menurutnya, pernikahan anak memiliki dampak jangka panjang yang sangat merugikan anak-anak dan masyarakat secara umum.
“Bagi orang tua yang memaksakan anaknya untuk menikah di bawah umur, tindakan ini dinilai melanggar hukum dan berpotensi dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya dalam Pasal 10 yang melarang pemaksaan pernikahan,” ujarnya.
Selain itu, Jamaludin juga menekankan bahwa Kemenag Basel akan terus melakukan pengawasan ketat terhadap setiap permintaan pernikahan yang diajukan ke KUA untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap ketentuan pernikahan anak.
Ia mengajak masyarakat untuk lebih memahami dan menghindari praktik pernikahan dini demi masa depan anak-anak yang lebih baik dan untuk mengurangi risiko masalah sosial di masa mendatang.
“Mari kita bersama-sama mencegah pernikahan anak di bawah umur demi menjaga kualitas hidup dan masa depan generasi muda kita,” tegas Jamaludin di akhir keterangannya.