Scroll untuk baca artikel
Pasang Iklan
IMG-20250817-WA0093
IMG_20250817_193446
BeritaKab. Bangka Barat

Mengali Makna Seni, Budaya, dan Taruhan Masa Depan Mentok

×

Mengali Makna Seni, Budaya, dan Taruhan Masa Depan Mentok

Sebarkan artikel ini
Mengali Makna Seni, Budaya, dan Taruhan Masa Depan Mentok

Mengali Makna Seni, Budaya, dan Taruhan Masa Depan Mentok

SEKILASINDONEWS.COM – Di halaman Rumah Peradaban Mentok, ratusan orang berkerumun pada Jumat malam (5/9/2025).

Lampu sorot berpendar, musik rakyat berpadu dengan suara puisi, mural berwarna-warni memanjang di dinding.

Inilah Mentok Arts Festival (MAF) 2025, hajatan budaya tahunan yang lahir dari inisiatif komunitas.

Sekilas, festival ini tampak sederhana: pertunjukan seni, diskusi, pameran. Namun, di balik keriuhan, tersimpan makna lebih besar yaitu sebuah perlawanan halus terhadap ancaman hilangnya identitas kota pusaka Mentok.

Investigasi ini menelusuri bagaimana MAF bukan sekadar acara hiburan, melainkan ruang perjuangan budaya.

Ia lahir dari gotong royong, bertahan tanpa sponsor besar, dan bergerak di antara harapan, tantangan, bahkan tarik-menarik kepentingan.

Festival ini pertama kali digelar pada 2022 dengan tema “Pada Sediakala”. Lokasinya di Museum Timah Indonesia, sebuah simbol sejarah kolonial.

Kala itu, festival lebih bernuansa nostalgia yaitu mengingat kembali masa lalu Mentok sebagai pusat perdagangan timah dan administrasi Belanda.

Setahun kemudian, 2023, festival berpindah ke Pantai Batu Rakit dan Limar Café. Tema “Tenunan Harmoni” dipilih untuk menekankan keberagaman dan upaya menjahit perbedaan.

Kini, di 2025, festival hadir dengan tema “Tanda Bicara”. Tema ini mencerminkan kesadaran baru: seni bukan lagi sekadar mengenang, tetapi menjadi bahasa kolektif yang berbicara tentang kondisi sosial.

“Festival ini bukan sekadar pentas, tapi tanda bahwa masyarakat Mentok ingin didengar,” kata Silo Sandro, ketua panitia, dalam wawancara investigatif.

Hidup di Mentok hari ini tak mudah. Kota tua ini dikelilingi oleh industri ekstraktif: tambang timah, perkebunan sawit, dan geliat ekonomi modern yang sering mengabaikan warisan budaya.

Dalam suasana itu, seni menjadi pelukan hati sekaligus senjata sunyi.

“Kehidupan berkesenian adalah pelukan hati kita. Dalam kerasnya hidup, seni membuat hati lebih lunak, lebih reda,” ucap Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc., tokoh nasional asal Mentok yang hadir membuka acara.

Ucapan itu terdengar ringan, namun jika ditelisik lebih dalam, ada lapisan makna: seni bukan hanya hiburan, melainkan mekanisme bertahan hidup bagi masyarakat yang terhimpit oleh kerasnya realitas ekonomi dan hilangnya ruang kota bersejarah.

Dalam penyelidikan, terungkap bahwa MAF sepenuhnya digerakkan oleh komunitas kecil bernama Daon Sempor, dibantu jaringan relawan lintas usia.

Tak ada dana sponsor besar. Bahkan, kebutuhan listrik panggung disebut hanya “ditambal” oleh donasi pribadi. Para relawan bekerja tanpa bayaran yaitu memasang kursi, mengecat mural, menjaga stand UMKM.

“Ini kerja kolektif. Kalau hanya mengandalkan pemerintah, festival ini tidak akan lahir,” ujar salah satu relawan, sebut saja Rani (22), mahasiswi yang ikut membantu dokumentasi.

Namun, di balik semangat gotong royong itu, ada juga tensi yang tidak terlihat. Sejumlah pelaku seni mengeluhkan kurangnya dukungan resmi.

Akses Terus Biar Update
IMG-20250806-WA0043
IMG-20250815-WA0045
IMG_20250909_235705
previous arrow
next arrow